Isu – Isu Geopolitik Timur Tengah
Definsi
Geoplitik
Geopolitik
berasal dari dua kata yaitu “geo” dari kata geografi dan “politik”. Menurut
Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu system dalam hal
menempati suatu ruang di permukaan bumi. Dengan demikian geografi bersangkut –
paut dengan dengan interelasi antara manusia dengan lingkungannnya. Sedangkan
politik selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Dari
sudut pandang hubungan internasional, Geopolitik merupakan suatu kajian yang
melihat masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau
geosentrik. Konteks tertitorial dimana hubungan itu terjadi bervariasi dalam
fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor.
Definisi
Geopolitik dapat disederhanakan menjadi suatu studi yang mengkaji masalah –
masalah geografi, sejarah, dan ilmu sosial, dengan merujuk atas asas politik
internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah
geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.
Geopolitik sendiri memilki 4 unsur pembentuk, yaitu keadaan geografis, politik
dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur
kebijaksanaan.
Suatu
negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal.
Kedaan suatu negara dengan kondisi kawasan geografis yang mereka tempati akan
selalu sejalan atau sama. Selain itu kawasan disekitar (negara tetangga) negaratersebut juga
mempengaruhi keadaan suatu negara.
Terdapat
dua golongan negara, yaitu golongan negara “determinis” dan golongan negara
“posibilitis”. Determinis berarti semua hal yang bersifat politis secara mutlak
tergantung dari keadaan geografi. Negara determinis adalah negara yang berada
diantara dua negara adikuasa, sehingga, secara langsung maupun tidak langsung,
pasti terpengaruh oleh kebijakan politik luar negeri dari dua negara raksasa
itu.
Selain
faktor golongan negara ada lagi faktor lain yang dapat mempengaruhi suatu
negara seperti faktor ideologi, politik, sosial, budaya dan militer. Tetapi, karena
besarnya kekuasaan dua negara besar tersebut, maka faktor – faktor lain
tersebut tidak terlalu menonjol, sedangkan faktor mengenai dua negara adikuasa
menjadi sangat berpengaruh.
Golongan
negara yang kedua adalah golongan negara posibilitis. Golongan ini merupakan
kebalikan dari golongan determinis. Negara ini tidak terlalu terpengaruh oleh
keberadaan dua negara raksasa, karena letak geografisnya tidak berdekatan
dengan negara raksasa. Sehingga, faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi
keadaan negara ini adalah faktor – faktor seperti ideologi, politik, sosial,
budaya dan milite. Selain itu, keberadaan negara-negara tetangga di sekitar
kawasan tersebut juga menjadi faktor yang berpengaruh.
Setiap
negara membutuhkan Geopolitik di dunia untuk memperkuat posisinya terhadap
negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di antara masyarakat
bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas untuk menempatkan diri pada posisi yang
setara di antara negara-negara raksasa.
Inti
dari Geopolitik adalah keadaan geografi suatu negara sangat mempengaruhi
berbagai aspek dalam penyelenggaraan suatu negara tersebut, seperti dalam
pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, dan dalam hubungan
perdagangan. Sehingga muncul organisasi - organisasi internasional yang
berdasarkan atas keberadaannya dalam suatu kawasan, seperti ASEAN, Masyarakat
Ekonomi Eropa, The Shanghai Six dan lain-lain. Komunitas - komunitas
internasional ini mempunyai peran dalam hal kerjasama dengan kawasan lain,
penyelesaian masalah bersama dan usaha menciptakan perdamaian dunia dan hal ini
berkaitan langsung dengan peranan-peranan geopolitik.
Peranan
geopolitik sendiri diantaranya adalah berusaha menghubungkan kekuasaan negara
dengan potensi alam yang ada dan menghubungkan kebijaksanaannya dengan situasi
dan kondisi alam tersebut. Selain itu geopolitik juga berperan dalam menentukan
bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri serta menggariskan pokok-pokok
haluan negara. Peran lainnya adalah berusaha untuk meningkatkan posisi dan
kedudukan suatu negara berdasarkan teori negara sebagai organisme, dan
teori-teori geopolitik lainnya. Yang lebih ekstrim adalah peranananya dalam
membenarkan tindakan-tindakan ekspansi wilayah yang dijalankan oleh suatu
negara.negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya. Yang lebih
ekstrim adalah peranananya dalam membenarkan tindakan - tindakan ekspansi
wilayah yang dijalankan oleh suatu negara.
Geopolitik Timur Tengah
Kembali
menekankan apa yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa kajian
Geopolitik Timur Tengah berarti melihat masalah/hubungan internasional/antar
nation kawasan ini beradasarkan geosentriknya. Unsur-unsur yang ada dalam cakupan ruang “Timur Tengah”, merupakan lahan
resource-nya, baik yang berkaitan pada keadaan alam secara langsung maupun tata
kehidupan yang tercipta.
Ada
beberapa isu penting yang perlu kita ketahui dalam kajian Geopolitik Timur
Tengah. Isu-isu tersebut seakan tiada pernah redup untuk selalu bergejolak dan
berkembang, bahkan umumnya melibatkan dunia Internasional secara serius.
Isu-isu tersebut adalah masalah; Perbatasan, Senjata Pemusnah Masal,
Perdagangan Senjata, Migrasi dan Pengungsi, Terorisme, Narkotika, Minyak Bumi
dan lain-lain :
Garis Perbatasan
Di
Timur Tengah, masalah perbatasan teritorial di beberapa negaranya belum
tertuntaskan, bahkan beberapa tidak ada tanda-tanda adanya jalan tengah dan
terciptanya perdamaian. Konflik Israel-Palestina misalnya, sebagai kepanjangan
atas sejarah konflik masa lampau, keduanya semakin sengit melancarkan
konfrontrasi perbatasan. Konflik antara keduanya melibatkan dunia Internasional, dunia Islam, dunia Arab
dan sang adidaya Amerika Serikat, sekutunya Israel.
Senjata Pemusnah
Masal
Senjata
pemusnah massal atau weapons of mass destruction (WMD) yang terdiri dari
nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin mengemuka
di Timur Tengah, terutama setelah munculnya berbagai teror biologi dan kimia
pada beberapa perang terakhir. Isu senjata pemusnah missal semakin sunter
dikaji dewasa ini, terutama setelah Iran mendeklarasikan dirinya serbagai
negara yang mampu memperkaya Uranium. Sumber ancaman dari nuklir pun telah
meluas hingga ke tingkat zat radioaktif. Oleh karena itu ancaman Nubika yang
semula dikenal dengan istilah NBC, kini telah berkembang menjadi CBRN
(Chemical, Biological, Radiological and Nuclear). Penggunaan sejata biologi dan
kimia dilarang oleh perjanjian Internasional (1968) dan dikontrol oleh organisasi
NPT (Non-Proliferation Treaty).
Di
timur tengah, kedua jenis senjata terlarang tersebut pernah digunakan. Pada
perang teluk (1991) misalnya, pasukan sekutu yang dimotori oleh Amerika
menggunakannya dan mengakitbatkan bencana kanker yang menyebar di Irak. Pun,
juga terjadi pada perang 1988 antara Irak dan Iran, dimana Irak dengan
orang-orang Kurdish menyerang kawasan Halabja dengan senjata gas pemusnah masah
yang mengakibatkan 5000 orang mati. Penggunaan senjata ini digunakan kembali
pada dua tahun berikutnya, saat Irak menyerang daerah Fao dan Mehran.
Berbeda
dengan kasus Irak, kasus senjata terlarang yang dituduhkan kepada Iran bermula
dari pengembangan teknologi energi nuklir oleh negeri para mullah itu. Iran
memang mempunyai sumber minyak bumi untuk menopang kebutuhan energi di
negeranya, namun minyak sebagai sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui membuat Iran harus menghemat penggunaan
minyak mereka. Oleh karena itu, pemerintah Iran sejak rezim Shah berusaha
mencari sumber energi alternatif untuk menunjang sekor industri dalam
negerinya.
Iran
memilih untuk mengembangkan teknologi engergi nuklir sebagai alternatifnya. Keputusan Iran
tersebut didasarkan atas salah satu poin dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir
(NPT) yang menyebutkan bahwa semua negara berhak mengembangkan teknologi nuklir
sepanjang untuk kepentingan damai. Oleh karena itu Iran berpendapat bahwa
teknologi nuklir adalah hak semua negara untuk memilikinya. Negara-negara
pemilik senjata nuklir tidak berhak
melarang Iran untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya.
Iran
mencoba memahami kekhawatiran dari sejumlah negara atas program nuklirnya, dan
telah berusaha meyakinkan dunia internasional akan hal ini. Usahaya diupayakan
melalui pernyataannya secara langsung
maupun dengan tindakan kerjasamanya dengan International Atomic Energy Agency
(IAEA); bahwa program yang dilakukan Iran tidak akan membahayakan perdamain
dunia. Perdamaian dunia adalah salah satu misi besar Revolusi Islam Iran.
Namun, Ahmadinejad tidak dapat mengerti akan arogansi dan sikap keras kepala
yang ditunjukkan Amerika dan sekutu-sekutunya untuk terus menekan dan memaksa
Iran untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya.
Faktanya,
sikap berbeda ditunjukkan oleh Amerika dalam menyikapi program nuklir yang
dilakukan Pakistan, India, maupun Israel. Ketiga negara ini tidak mendapatkan
tekanan sekeras Iran saat mengembangkan senjata nuklir, pun saat mereka tidak
mau menandatangani NPT. Bahkan, Amerika memberikan dukungan dan bantuan
pengembangan nuklir kepada tiga negara tersebut. Yang menjadi pertanyaan
mendasar Iran adalah mengapa Iran yang hanya melakukan pengayaan uranium untuk
kebutuhan listriknya mendapat berbagai ancaman, desakan, dan tekanan dengan
berbagai cara dari Amerika?. Sikap Amerika yang menerapkan standar ganda tidak
dapat diterima oleh Iran.
Iran
berusaha membangun kerjasama dengan negara-negara di dunia yang menghormati
Iran, termasuk Amerika Serikat. Namun, Iran tidak akan membuka diri dengan
Israel, sebab ia tidak mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara yang
berdiri di atas tanah air rakyat Palestina. Oleh karena Amerika dan
negara-negara Eropa yang menjadi sekutunya menunjukkan sikap arogan dan
berprasangka buruk pada program nuklirnya, maka Iran lebih mendekatkan diri
dengan Rusia, China, Kuba, danVenezuela yang selama ini memiliki sikap
berseberangan dengan Amerika. Di samping itu, Iran berusaha untuk membangun
hubungan yang erat dengan negara-negara teluk pengekspor minyak diTimur Tengah
sebagai salah satu usahanya untuk menjalin hubungan harmonis dengan
negara-negara Islam sekaligus upaya menjaga perdamaian di wilayah Timur Tengah.
Belajar dari perang teluk I dan II yang telah merugikan Iran dan menyebabkan
renggangnya hubungan diantara negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Perdagangan
Senjata
Peres (1993) mengamati bahwa ada
keterkaitan antara konflik/permasalahan tingkat tinggi antara konflik militer
dan permasalahan ekonomi yang terjadi di Timur Tengah. Selain pengaruh perekonomian, ada satu
pertanyaan yang kemudian muncul; apakah
ada hubungan antara pembelian senjata dan konflik di kawasan tersebut. Dalam operai militer
gurun di kawasan Teluk pada 1991
misalnya, kebutuhan pasokan senjata berikut pemasoknya menjadi wahana
yang sangat politis.
Dalam usahanya menjadi pemasok senjata
di kawasan timur tengah, Amerika bertabrakan dengan sebuah dilema (Cordesman
1993). Sebagai akibat atas kedekatan hubungannya dengan Israel, Amerika tidak
dapat berleluasa menjual senjatanya di beberapa negara di kawasan ini. Parlemen
negeri paman sam itu mempunyai aturan yang melarang memasok senjata ke
Negara-negara yang mengganggu keamanan Israel. Konskwensinya, kebutuhan senjata
di beberapa negara Timur Tengah yang bertentangan dengan Israel, dipasok oleh
negara lain, baik dari sekutunya maupun dari negara lawan politiknya. Tentu,
secara ekonomi dan politik merugikan Amerika.
Dikesampingkannya
Amerika, pasokan senjata di sebagian wilayah dipenuhi oleh Inggris, Prancis,
Jerman dan Italia, dengan total pasokan seperempat dari Amerika. Peta
penjualannya; Kuwait dipasok oleh Amerika, Uni Emirat Arab dipasok oleh Prancis
dan Oman berkomitmen dengan Inggris. Lebih jauh lagi, negara-negara Eropa
barat, pemasok senjata ke
wilayah-wilayah menjadi enggan untuk lebih dekat berhubungannya dengan Amerika.
Indikasinya bahwa seolah-olah mereka mempersenjati beberapa negara yang dalam
tanda kutip mengganggu keamanan Israel. Namun, di sisi lain, negara-negara
Eropa barat tersebut diuntungkan dari perdagangannya, disamping adanya jaminan
pasokan minyak bumi sebagai hasil timbal balik kepentingan internasional antar
dua kubu.
Dalam
kasus perdagangan senjata di Timur Tengah, dua aspek kuantitaf dan kualitatif
harus diperhatikan. Sejak tahun 1967, Jumlah tank tempur darat dan pesawat
perang naik sangat tajam di kawasan berpontensi perang. Kesenjangan teknologi
senjata utama negara Nato dan negara-negara Timur Tengah menyempit secara
signifikan dengan penyebaran pesawat jet supersonic dan rudal kendali, serta
pengenalan teknologi perang elektronik ke Timur Tengah. Dengan kata lain,
sistem persenjataan mereka setara dengan negara-negara adidaya (Maull 1990).
Fakta
lain yang muncul adalah rendahnya kualitas senjata perang dan minimnya
perawatan dan perbaikan. Satu contoh ektrimnya menimpa pada tank tempur Abram
Amerika yang dibeli oleh Kuwait. Beberapa alutsista tersebut tidak dapat segera
diperbaiki ketika terjadi kerusakan di lapangan. Beberapa faktor penyebabnya
adalah minimnya ketersediaan suku cadang dari pusat pertahanan Amerika, yang
mana suku cadangnya tidak diproduksi lagi. Ketidak tersediaan produksi suku
cadangnya merupakan imbas dari pengembangan alutsista modern, dimana alutsista
lama dianggap barang rongsokan. Padahal antara pihak negara-negara pemasok
telah menandatangi atas jaminan
operasional dan suku cadangnya. Pemasalahan ini menimbulkan kekhawatiran bagi
negara-negara pemasok, dimana mereka semakin mempertimbangkan adanya beban
tanggung jawab yang akan berlanjut. Mungkin, menghentikan permintaan merupakan
jalan yang akan diambil.
Pasca
konflik terbaru di kawasan Teluk, muncul perhatian serius tentang hubungan
antara angkatan perang dan keamanan. Pada 9 Mei 1991, George Bush, Presiden
Amerika saat itu, mengungkapkan secara detail sebuah inisiatif untuk membantu
kontrol militer di Timur Tengah (Sadowski 1993). Salah satu inisiatifnya, Bush
bernegosiasi dengan Negara-negara pengekspor senjata agar mengurangi pasokan senjatanya
ke wilayah tersebut.
Timur
tengah merupakan kawasan berpotensi konflik yang dipicu oleh persaingan
persenjataan. Lebih lanjut,persaingan senjata dan perdagangannya mengundang
campur tangah negara-negara pamasok. Sehingga terbentuk blok-blok dengan sekutu
yang berbeda berdasar negara pemasoknya. Terbentuknya blok-blok tersebut seakan
memperlebar kekuataan militer negara pemasok ke wilayah-wilayah konsumen. Dalam
artian, ada persekutuan antara pemasok dan konsumen, disampiong adanya motif
ekonomi.
Yang
menarik, Revolusi yang terjadi di Negara-negara Arab dalam periode 2011 hingga
saat ini, yaitu adanya pihak yang untung
atau memanfaatkan situasi. Pihak tersebut salah satunya adalah Inggris. Seperti
yang dilansir oleh Global Muslim Community (9/2011), kutipan dari majalah Times
mengungkapkan bahwa Inggris meningkatkan ekspor senjatanya hingga 30 persen ke
Timur Tengah dan Negara-negara Afrika Utara, yang menjadi pusat gerakan protes
anti rezim totaliter di kawasan tersebut. Inggris menjual senjata senilai 30,5
juta pound ke berbagai negara termasuk Bahrain dan Arab Saudi antara bulan
Februari dan Juni tahun ini. Jika dibandingkan dengan tahun 2010 pada periode
yang sama, angka tersebut mengalami peningkatan 30 persen dari 22 juta pound.
Sebelum Dewan Keamanan PBB memberlakukan embargo suplai senjata ke Libya pada
Februari, Inggris telah menyuplai amunisi kepada rezim Libya senilai 64,000
pound. Sepertinya, ada standar ganda yang diterapkan pemerintah Inggris
menyusul kecaman keras London atas represi rezim-rezim penguasa di Timur Tengah
terhadap para demonstran revolusi di Timur Tengah.
Undang-undang
Inggris tidak mengijinkan penjualan senjata yang dipergunakan untuk represi
dalam negeri, penyerangan ke negara lain, begitu juga jika penjualan senjata
itu akan semakin memanaskan konflik bersenjata. Di lain pihak, organisasi
perdamaian terbesar di Inggris, Stop the War Coalition (STWC), dalam laporannya
menyebutkan bahwa Inggris merupakan salah satu penjual senjata terbesar kepada
rezim-rezim penindas dan korup. Menurut lembaga perdamaian itu, dari 26 negara
yang menurut Inggris memiliki rapor HAM yang mengkhawatirkan, London menjual
senjatanya ke 16 negara di antaranya.
Sementara
itu, di kawasan Timur Tengah sendiri, Iran telah diembargo atas penjualan
senjata ke negeri itu oleh adidaya Global melalui kekuatan Amerika dan PBB.
Namun, baru-baru ini, Iran merilis bahwa ia tidak hanya memproduksi dan memiliki
senjata, akan tetapi menyatakan Iran siap mengekspor senjatanya ke negeri lain.
Ahmad Vahidi, Menteri Pertahanan Iran mengatakan, bahwa Iran berhasil
swasembada di sektor produksi masal atas alutsiswa, berupa tank, artileri, helikopter dan bahkan kapal
perang.
Migrasi dan Pengungsian
Selama
paruh kedua abad ke-20, pola migrasi dunia didominasi oleh migrasi
besar-besaran pengungsi dengan jumlah yang diperkirakan oleh PBB sekitar 20
juta jiwa. Ada perbedaan yang dipukul rata dalam mendefinisikan pengungsi,
yaitu orang-orang terlantar dan orang-orang yang sengaja mengungsi keluar
perbatasan oleh akibat perang saudara dalam negeri, maupun akibat bencana alam,
namun ada niat kembali ketika keadaan telah normal. Definisi umum ini tidak
sesuai dengan definisi yang ditetapkan dalam Kesepakatan/Konvensi Genewa (1951)
yang mana disusun sebagai reaksi atas kondisi Eropa pasca perang dunia kedua.
Konferensi Perwakilan Negara tentang Kedudukan Pengungsi
dan Orang-orang Tanpa Kewarganegaraan (1951) mendefinisikan pengungsi sebagai
orang-orang yang :
“Berada
di luar negaranya, karena kekhawatiran/ketakutakn akan adanya
penganiayaan/kekerasan atas alasan ras, agama, kebangsaan, atau keanggotaan
dalam suatu kelompok sosial atau pandangan politik tertentu”
Definisi
di atas memungkinkan interpretasi, apalagi munculnya fakta dilapangan yang
menyatakan bahwa pengakuan pengungsi merupakan masalah penerimaan seseorang
sebagai warga Negara (Frelick 1992).
Black (1993) menuturkan bahwa di Afrika
dan Amerika Latin, OAU (Organization of
African Unity) (1967) dan OAS (Organization of American States) serta Konvensi
Cartagena (1985) menggunakan definisi lain. Pada kasus yang terjadi di kawasan
OAU, pengungsi dipaksa keluar dari negaranya karena agresi dari pihak luar yang
menduduki dan mendominasi wilayah tersebut, Sementara di kawasan OAS
pengungsian terjadi dikarenakan konflik internal atau pelanggaran HAM secara
masal.
Migrasi
pengungsi sekarang ini berbeda dengan mereka yang mengungsi pada saat setelah
Perang Dunia Kedua. Alasan-alasan untuk meninggalkan Negara mereka menjadi
sangat kompleks. Orang-orang meninggalkan negaranya karena pertikaian sipil,
pelanggaran berat terhadap hak asasi mereka, serbuan, pendudukan asing,
kemiskinan, kelaparan, penyakit dan kekacauan ekologi. Banyak di antara mereka
yang tidak termasuk sebagai pengungsi berdasarkan definisi PBB.
Di
Timur Tengah, muncul fenomena kelompok pengungsi di luar kategori Konvensi
1951, dimana pengungsi lebih berdasar motif ekonomi daripada motif politik.
Sejak perang dunia kedua berakhir, Timur Tengah mendapatkan perhatian yang
serius mengenai masalah ini. Salah satu
focus perhatiannya ialah adanya kesenjangan antara migran yang sengaja pindah,
dengan pengungsi karena desakan atau pengungsi dalam arti yang sebenarnya.
Cohen
(1995) mengungkapkan bahwa Migrasi terpenting dalam sejarah manusia adalah migrasi orang-orang Yahudi ke
Palestina yang dimulai sejak pertengahan abad 19 hingga abad 20. Kaum zionis
Yahudi menyatakan bahwa migrasi mereka ke Palestina merupakan bentuk
kepulangan, setelah terasing dan terusir ke berbagai wilayah di dunia. Di sisi
lain, kedatangan kaum Yahudi yang kemudian menduduki wilayah Palestian hingga
saat ini mengakibatkan eksodus masyarakat Palestina sebagai pengungsi maupun
objek evakuasi. Hingga periode 1992 saja, Aldelman (1995) mengestimasi bahwa
pengungsi Palestina, termasuk keturunannya kira-kira berjumlah 5,5 juta jiwa.
Jadi jelas bahwa eksodus yang terjadi pada masyarakat Palestina merupakan
akibat adanya bangsa lain yang melakukan pengusiran dan menduduki wilayahnya.
Fakta
yang menarik adalah pada saat ratusan ribu warga sipil Arab keluar terusir dari
tempat tinggalnya di wilayah Israel, pada saat bersamaan ratusan ribu warga
sipil Yahudi juga keluar terusir dari tempat tinggalnya di negara-negara Arab.
Pada tahun 1948, sebelum pecah perang, terhitung ada sekitar 856 ribu orang
Yahudi yang tinggal di sepuluh negara-negara Arab; Yaman, Aljazair, Mesir,
Irak, Lebanon, Libya, Maroko, Suriah, Tunisia dan Aden. Tahun 2001 jumlahnya
menyusut hingga tinggal 7.800 orang saja.
Perang
Arab-Israel menimbulkan ratusan ribu pengungsi warga sipil dari kedua belah
pihak. Ratusan ribu pengungsi tersebut sama-sama TIDAK MEMILIKI HAK KEMBALI (no
right to return). Namun bedanya: Ratusan ribu pengungsi Yahudi yang terusir
keluar dari negara-negara Arab dengan sigap ditampung oleh Israel dan diberi
kewarganegaraan, sehingga tidak menimbulkan kesengsaraan yang berlarut-larut.
Sedangkan ratusan ribu pengungsi Arab yang terusir keluar dari Israel, tidak
diterima oleh negara-negara Arab sehingga hanya berstatus sebagai pengungsi
dalam jumlah besar, dan tinggal di kamp-kamp darurat selama puluhan tahun.
Di
Negara lain, di Timur Tengah, seperti Afghanistan, Irak, Iran dan baru-baru ini
Syiria, pengungsian lebih disebabakan oleh perseteruaan dan ketidakstabilan
politik dalam negeri dan luar negeri. Sehingga mengungsi menjadi solusi untuk
ketentraman hidup. Banyak di antara pengungsi-pengungsi dari daerah ini yang
dengan sengaja mengungsi dengan dalih mencari keamanan, sekaligus mencari suaka
kehidupan.
Baru-baru
ini, seperti yang diberitakan di media massa Indonesia, Gelombang pengungsi
dari Timur Tengah yang merambah ke wilayah Indonesia semakin meningkat.
Disebebab ancaman dan ketidak stabilan kemanan dalam negeri, pengungsi terpaksa
melintas tapal batas negerinya dengan berbagai moda transportasi seadanya, dan
menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan suaka dan persinggahan untuk
mencapai tanah seberang; Australia dan Selandia baru.
Produksi dan Perdagangan Narkotika
Perdagangan
Narkotika adalah salah satu elemen utama dalam agenda politik dunia, karena
industri narkotik merupakan permasalahan multinasional. Konsentrasi
permasalahan ini mencakup segala operasi dari proses produksi hingga
pemasarannya. Lebih jauh lagi, keuntungan yang diperoleh atas industri ini
sangat fenomenal, bahkan ada kaitannya dengan pendanaan perang separatis,
terorisme, kriminal dan tentunya korupsi (Clutterbuck 1994).
Timur
Tengah merupakan kawasan yang tak terlepas dari kasus Obat-obatan, baik yang
merusak maupun yang menimbulkan efek kecanduan, seperti heroin hingga qat,
perangsang yang berkadar ringan (bius). Produksi dan perdagangangannya di
kawasan ini menjadi salah satu basis
utama di dunia. Produksi terbesar dunia atas Opium atau apiun yang merupakan
getah bahan baku Narkotika dihasilkan di kawasan Timur Tengah. Produksi Opium
dunia terkonsentrasi dalam dua area utama; area Segitiga Emas yang mencakup
Myanmar, Laos dan Thailand; dan area Bulan Sabit Emas yang mencakup Pakistan,
Afganistan serta Iran. Menurut PBB, Afghanistan saat ini merupakan penghasil
opium terbesar di dunia, dengan total produksi mencapai 87 %.
Sejak
2001, Amerika menyerang Afghanistan dengan dalih misi penyelamatan HAM atas
kesewenang-wenangan militan Thaliban yang dianggap teroris oleh negara adidaya
itu. Fakta penting yang perlu disimak adalah; merebaknya kemunculan kelompok
Islam Salafi (Thaliban) dan meningkatnya produksi opium di Afghanistam terjadi
seiringan dengan intervensi militer Amerika Serikat dan Uni Soviet dua dekade
yang lalu. Dalam menggelontorkan dana bantuan keuangan Amerika dan Saudi Arabia
kepada kelompok perlawanan Afghanistan, badan intelijen Pakistan Inter-Service
Intelligence (ISI) memberikan setengah dana bantuannya kepada dua kelompok
fundamentalis Islam Afghanistan. Dua kelompok tersebut masing-masing dipimpin
oleh Gulbuddin Hekmatyar dan Abdul Razul Sayyaf. Keduanya dianggap bisa
dikendalikan oleh Pakistan, Saudi Arabia dan Amerika, karena kedua tokoh
sentral fundamentalis Islam tersebut tidak memiliki dukungan yang mengakar di kalangan
masyarakat Afghanistan.
Hekmatyar,
dengan perlindungan sepenuhnya dari ISI dan CIA, mulai memberikan kompensasi
atas peran yang dimainkan kedua pemimpin fundamentalis tersebut sebagai
agen-agen perpanjangan tangan Amerika dan Pakistan di Afghanistan. kompensasi
yang diberikan CIA dan ISI adalah membantu dan menfasilitasi Hekmatyar dan
Abdul Razul Sayyaf dalam pengembangan
produksi dan perdagangan opium dan narkoba.
Begitulah, kedua badan intelijen tersebut merestui dan mendukung dari belakang
perdagangan opium, heroin dan narkoba tersebut.
Adanya
larangan Pakistan atas penanaman opium pada Februari 1979 dan diikuti oleh Iran
pada April 1979, tidak diimbangi dengan
pengawasan dari para penegak hukum.
Di wilayah kekuasaan Suku Pastun yang berlokasi di Pakistan dan
Afghanistan, telah menarik minat para kartel pedagang obat bius untuk mengadu
untung dalam perdagangan barang haram ini. Bahkan para pengejar kekayaan asal
Eropa dan Amerika, dengan tanpa ragu kemudian mendirikan fasilitas pemprosesan
heroin di wilayah kekuasaan suku Pastun tersebut.
Pada
1976, laboratorium narkotika dibuka di provinsi North-West frontier. Fakta ini
bersumber dari Majalah Canadian Maclean’s pada April 1979. Menurut Alfred
McCoy, pada 1980 para pedagang opium dan obat bius dari Pakistan dan
Afghanistan dikuasai sepenuhnya menguasai pasar eropa. Bahkan berhasil
menguasai 60 persen kebutuhan pengguna opium di Amerika. Dalam catatan McCoy,
Gulbuddin Hekmatyar menguasai enam laboratorium pembuatan opium dan heroin di daerah
Baluchistan, wilayah yang sepenuhnya berada dalam kendali ISI.
Desakan
untuk menghancurkan laboratorium pembuatan ganja memang sempat menjadi pilihan
kebijakan yang diajukan kepada pemerintah Amerika. Namun dengan berbagai alasan
politis, Amerika menolak desakan tersebut. Pada 2001, Taliban dan Osama bin
Laden diperkirakan oleh CIA akan mendapat pendapatan dari hasil Narkoba sebesar
10 persen dari total pendapatan hasil perdagangan barang haram tersebut. Itu
berarti, Osama bin Laden dan Taliban diperkirakan mendapat perolehan nominal
sebesar Rp 6,5 sampai 10 miliar dolar Amerika per tahun.
Ketika
Amerika melancarkan serangan militer pertama kali ke Afghanistan pada 2001,
menurut Ahmad Rashid, Pentagon memiliki daftar sekitar 25 laboratorium
pemrosesan dan gudang obat bius di Afghanistan. Namun pihak Amerika, khususnya
Pentagon, menolak membom tempat-tempat tersebut. Alasannya, itu merupakan aset
bisnis milik CIA dan sekutu lokalnya the North Alliane (Aliansi Utara). Rashid
ketika itu mendapat keterangan dari beberapa pejabat UNDODC, bahwa Amerika
sebenarnya tahu lebih banyak tentang keberadaan lokasi beberapa laboratorium
obat bius tersebut. Sehingga penolakan Pentagon untuk membom laboratorium obat
bius tersebut, pada perkembangannya merupakan sebuah kemunduran bagi upaya
kontra perdagangan narkotika dan obat bius.
Ketika
Amerika melancarkan serangan militer pertama kali ke Afghanistan pada 2001,
menurut Ahmad Rashid, Pentagon memiliki daftar sekitar 25 laboratorium
pemrosesan dan gudang obat bius di Afghanistan. Namun pihak Amerika, khususnya
Pentagon, menolak membom tempat-tempat tersebut. Alasannya, itu merupakan aset
bisnis milik CIA dan sekutu lokalnya the North Alliane (Aliansi Utara). Rashid
ketika itu mendapat keterangan dari beberapa pejabat UNDODC, bahwa Amerika
sebenarnya tahu lebih banyak tentang keberadaan lokasi beberapa laboratorium
obat bius tersebut. Sehingga penolakan Pentagon untuk membom laboratorium obat
bius tersebut, pada perkembangannya merupakan sebuah kemunduran bagi upaya
kontra perdagangan narkotika dan obat bius.
Minyak Bumi
Energi
dan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi salah bahan kajian utama Geopolitik semenjak
lahirnya era minyak. Ketika industri hanya masih memproduksi batu bara, isunya
belum berkembang. Dalam banyak kasus, banyak negara telah menjadi negara
indstri yang besar berdasar SDA yang mereka punya, terutama batu bara. Awalnya,
perdagangan global sepenuhnya tergantung pada pengiriman kargo oleh kapal-kapal
yang turbinnya ditenagai oleh uap batu
bara. Terdapat beberapa port/pelabuhan yang menyediakan pengisian bahan bakar,
seperti di teluk Aden di jalur laut utama, yang mana diperuntukan untuk
memperlancar operasi kapal-kapal kargo yang berlabuh di wilayah Arab.
Pada
awal abad dua puluh, ketergantungan akan minyak bumi mulai tumbuh, awalnya
untuk kebutuhan tenaga perkapalan, kemudian untuk industri, dan kemudian
situasi kebutuhan berubah secara radikal ke segala aspek kehidupan. Kebutuhan
industri akan energi minyak bumi saat itu tidak sepadan dengan sumber daya
minyak yang masih minim. Namun segera dijawab dengan ditemukannya sumber minyak
di dataran timur tengah, utamanya di lembah Eufrat, Irak. Disana dan bebera
negara timur tengah, terbangun kilang-kilang minyak yang hak produksinya
dominasi oleh asing, utamanya Inggris yang berhasil mendapat hak kontrol atas
Irak setelah berakhirnya perang dunia pertama.
Di
Era lebih modern, dunia Timur Tengah, khususnya kawasan semenanjung Arab dan
Persia semakin mendominasi produksi minyak dunia. Pada tahun 1997, 60 persen kebutuhan
minyak dunia dipasok dari negara-negara kawasan ini. Jika dahulu kawasan
semenanjung Arab dilihat dari kacamata peradaban yang melahirkan agama-agama
Samawi, sekarang ini kepentingan dunia lebih tersorot pada nilai ekonomi yang
dihasilkan oleh puluhan ribu kilang minyak yang ada.
Munculnya
kilang-kilang minyak di sebagian wilayah Timur Tengah, merangsang perekonomian
negara asalanya, salah satu kemampuannya ialah pembiayaan pembangunan. Karena
tidak semua negera mempunyai harta black gold (Emas Hitam) tersebut, pada
perkembangannya, terdapat perbedaan sangat mencolok di bidang ekonomi antara
negara penghasil dan negeri non-penghasil, sebaga negara kaya dan negara
miskin. Namun, ternyata si kaya tidak menutup mata akan keadaan kemiskinan
negeri non-penghasil minyak. Faktanya, pada tahun 1970-an, beberapa lembaga
seperti organisasi negeri-negeri Arab pengekspor minyak (OAPEC) dan lembaga
swasta oleh Kuwait, Arab Saudi dan Abu Dhabi memberi bantuan dengan jumlah
besar kepada negeri-negeri berkembang di sekitar wilayah mereka. Pada 1979,
sekitar $2 miliar diberikan melalui berbagai bidang. Bantuan tersebut nilainya
kecil jika dibanding dengan kekayaan mereka, karena jumlah tersebut hanya
sekitar 2,9% dari hasil kotor nasional (GNP) negeri-negeri penghasil minyak
tersebut.
Minyak
merupakan sentral perekonomian dunia saat ini. Kestabilan ekonomi akan
terganggu jika seumber energi yang menghidupinya terganggu, sehingga
konsekwensinya, kestabilan keamanan kilang-kilang minyak harus dijaga. Jika
tidak, maka pasokan minyak bumi terganggu dan inflasi harganya terganggu dan
iflasi eknomi duniapun ikut serta. Dengan kata lain, dengan ketergantungan ini,
penguasaan atas minyak bumi berarti penguasaan terhadap perekonomian dunia. Itu
yang saat ini terjadi, dan itu yang membuat minyak menjadi senjata politik
dunia.
Peristiwa
geopolitik yang mempengaruhi pasokan minyak berikut harganya sudah kerap
terjadi. Embargo minyak oleh Liga Arab pada perang Arab-Israel pada tahun 1974
telah menimbulkan krisis minyak dunia, dan merupakan pertama kalinya minyak
dipakai sebagai alat politik. Berikutnya, revolusi Iran pada 1979 yang diikuti
perang Irak-Iran telah menciptakan krisis minyak kedua. Berikutnya, Invasi Irak
ke Kuwait pada 1990 juga sempat membuat harga minyak meroket kembali, dan
kembali turun setelah ketegangan berakhir. Lebih parah lagi, di awal 2003,
dimana invasi atas Irak oleh Amerika yang bebarengan dengan krisis politik di
Venezuela dan Nigeria menyebabkan dunia kekurangan lebih dari empat juta barel
minyak per hari.
Setelah
minyak digunakan sebagai senjata politik oleh negaranegara Arab terkait perang
Arab- Israel pada 1973-1974, Amerika Serikat dan sekutunya merancang skenario
agar negara-negara Timur Tengah terpecah dan tidak bisa kompak menggunakan
kembali minyak sebagai senjata politik. Arab Saudi, pemilik cadangan minyak
terbesar di dunia, dimanjakan Amerika Serikat dengan berbagai bentuk bantuan
seperti persenjataan canggih, penasihat militer, instruktur,dan teknisi.
Melalui operasi Badai Gurun, Amerika Serikat juga melindungi Arab Saudi dan
Kuwait dari invasi Irak pada 1990. Sebagai kompensasi, Amerika Serikat meminta
bantuan uang minyak Saudi untuk membiayai operasi CIA menggulingkan rezim-rezim
kiri yang didukung Uni Soviet di Afghanistan, Nikaragua, dan lain-lain.
Para
pengambil kebijakan Amerika Serikat, yang sebenarnya enggan bermitra dengan
rezim monarki yang dianggapnya “antidemokrasi” setuju bahwa akses terhadap
minyak Saudi adalah bagian dari agenda nasional yang harus dipertahankan.
Amerika Serikat juga secara tidak langsung mengobarkan perang Irak-Iran pada
1980. Ketika Irak menginvasi Iran pada September 1980,Washington menyatakan
netral dan menjatuhkan embargo kepada pihak-pihak yang bertikai.
Namun,
ketika Iran berada di atas angin dan mengancam kepentingan minyak Amerika
Serikat di Arab Saudi dan Kuwait, Washington diam-diam menyokong Irak dengan
memberinya pinjaman uang, dukungan intelijen, dan transfer senjata secara
gelap. Kawasan Timur Tengah yang kaya minyak lantas menjelma sebagai negara
yang terpecah-pecah. Arab Saudi tidak mungkin bisa mengambil kembali peran yang
pernah dimainkannya pada 1973 yang kompak menghukum Amerika Serikat melalui
embargo minyak karena membela Israel dalam perang Arab-Israel.
Arab
Saudi yang sudah berada di bawah kontrol Washington tidak mungkin bisa mencegah
invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Arab Saudi juga tidak bisa berbuat
apaapa ketika Israel menyerang Libanon pada 2006.Bersama negaranegara Arab
lain,Arab Saudi diamdiam bahkan menyokong dijatuhkannya sanksi terhadap Iran
yang menolak menghentikan program nuklirnya.
Dalih
apa pun bisa digunakan, tapi motif yang sebenarnya adalah minyak! Masih sangat
membekas dalam ingatan, dengan dalih menyimpan senjata pemusnah massal, Amerika
Serikat menumbangkan Saddam Hussein dan menguasai Irak,pemilik cadangan minyak
terbesar ketiga di dunia. Publik Amerika Serikat sadar bahwa motif utama invasi
Irak adalah minyak, sebagaimana terungkap dalam poster-poster protes mereka yang
berbunyi “No Blood for Oil”.
Ternyata,
senjata pemusnah massal yang dibuat alasan Bush tidak pernah terbukti.
Belakangan di tengah ancaman serangan Israel dan Amerika Serikat terhadap Iran
bila Iran tidak menghentikan program nuklirnya juga menyingkapkan ada upaya
lewat diplomasi minyak. Iran dikabarkan telah bersiap-siap menggunakan minyak
sebagai senjata diplomatik dengan menutup Selat Hormuz jika terjadi konflik
dengan Barat. Teheran memiliki keuntungan diplomatik dengan menutup jalur
kapal-kapal untuk pengiriman minyak di selat yang memisahkan Teluk Persia dan
Teluk Oman tersebut.
Nampaknya,
Amerika seakan takut dan berpikir ulang untuk menyerang Iran sebagai negeri
pembangkang atas usahanya mengembangkan senjata Nuklir. Pertama, perlu
diperhatikan bahwa untuk melaksanakan penyerangan militer, tentunya Amerika
membutuhkan dana yang besar, padahal krisis ekonomi yang melanda paman syam
saat ini merupakan imbas dari pembiyaan invansi militernya ke kawasan Timur
Tengah, utamanya Irak dan Afgahnistan. Kedua, Amerika serikat merupakan
konsumen terbesar minyak dunia, dengan begitu ia sangat tergantung dengan
produsen terbesar minyak dunia yang letaknya di kawasan teluk Arab. Jikapun
Amerika menyerang Iran, maka akan mengusik ketentraman kawasan selat Hormus
dimana kilang-kilang minyak banyak di sekitar wilayah tersebut. Amerika sadar
betul bahwa hal tersebut akan membuat malapetaka perekonomian dunia, termasuk
negerinya sendiri.